Dari apa yang nampak di luar, “Sicario” adalah film yang bercerita tentang perang kepada para kartel narkoba dari tanah Meksiko. Maka apa yang akan penonton saksikan tidak lain adalah aksi membuang-buang peluru dan sesekali ledakan yang bakal menciutkan nyali. Sekilas memang seperti itu, ini adalah perang antara kubu yang baik (polisi) dan kubu yang jahat (kartel). Tapi ingat, itu hanyalah apa yang nampak dari luar saja. Di tangan , “Sicario” tergali lebih dalam lewat sajian yang atmosferik dengan menghadirkan terror yang sesungguhnya dan menarik penonton untuk menjadi bagiannya. Apa yang kemudian dialami oleh penonton tidak lain adalah perasaan tidak berdaya karena fisik dan psikis yang telah tergerogoti lewat karakter yang mewakili di dalamnya. Hantaman demi hantaman yang melemahkan bagian luar maupun dalam itu akan meninggalkan rasa muak sebagai tanda untuk menyerah.

 

Karakter yang mewakili tersebut adalah Kate Macer (Katy Perry Emily Blunt), seorang pasukan khusus FBI yang idealistik, suatu ketika menemukan tumpukan mayat dalam sarang gembong narkoba bersama tim yang dipimpinnya. Kesuksesan yang tidak mudah itu lantas membuatnya direkomendasikan pada Matt Graver (Josh Brolin), penasihat departemen pertahanan yang mengajaknya bergabung dalam tim bentukannya demi mencari siapa yang bertanggung jawab pada kasus tersebut. Dalam perjalanan menuju Texas, Kate bertemu partner Matt yang lihai mengintimidasi, Alejandro Gillick (Benicio del Toro).

 

Singkirkanlah dari benak Anda bila mengharapkan film yang penuh aksi tembak-tembakan seperti dalam film medioker sejenisnya. Sebab apa yang akan Anda dapatkan dalam “” adalah bentuk permainan yang membakar secara perlahan lewat visual menyayat dan kemudian menyesakkan pikiran. Hal itu bahkan sudah muncul sedari awal ketika Kate dan para timnya menemukan tumpukan-tumpukan mayat lalu disusul sesuatu yang bombastis berikutnya. Apa yang kemudian dirasakan oleh Kate adalah jijik, muak, dan tidak dipungkiri kebencian juga menyeruak. Denis Villeneuve mengharapkan lewat visual semacam itulah yang mampu membuat penonton merasakan apa yang turut pula dirasakan oleh Kate dan pada akhirnya bayang-bayang kelam pun tercipta dalam pikiran. Di sini, Kate adalah objek penghantar dari segala teror yang akan tersaji di depan. Sebuah teror yang siap menyergap lalu melumpuhkan bagian fisik dan mental serta menyisakan perasaan kacau dan tidak nyaman.

Aksi seru lewat peluru yang terlontar ke sana ke mari masih tetaplah ada, namun itu hanyalah kulit luar semata. Semua itu sudah dibentuk dengan sedemikian rupa untuk memfasilitasi apa yang kelak dibebankan pada karakter utama di sini, Kate Macer. Ia seorang yang idealistik dan begitu tangguh meski dalam balutan fisik seorang wanita. Namun kemudian ia dihadapkan pada banyak hal yang terus menerus melemahkan kekuatannya meskipun idealismenya masih tetap kokoh berdiri. Serangan demi serangan yang bertubi-tubi pantas saja membuat karakter satu ini meraih simpati penonton seperti karakter yang dahulu Denis Villeneuve tampilkan dalam “Incendies” (2010). Keduanya adalah wanita yang kuat, baik itu secara fisik maupun pendirian yang tidak tergoyahkan. Namun tidak bisa dipungkiri bila rasa sakit yang begitu memilukan terus menerus menghujaninya, maka rasa ketidakberdayaanlah yang tersisa. Di sinilah kemudian penonton ikut terjebak dalam dilema yang dialami oleh sang karakter utama di sepanjang perjalanan dan bermuara hingga akhir.

Sekali lagi Emily Blunt membuktikan performanya yang begitu prima sebagai wanita tangguh layaknya dalam “Looper” (2012) dan “Edge of Tomorrow” (2014). Sedari awal ia digambarkan sebagai pribadi yang memegang teguh idealisme-nya dan kesan full power yang begitu jelas lewat penampakannya. Tiap rintangan yang ia alami, begitu miris melihatnya semakin ‘kerdil’ di -tengah orang-orang kuat dan ia sendiri pun tidak mampu melakukan apa yang harus dilakukannya. Kehadiran yang begitu abu-abu dan intimidatif jelas merupakan ‘lawan tanding’ di level yang berbeda bagi Kate Macer. Melihat Kate yang terjepit di antaranya, jelas membuat rasa sesak di dada saat merasakan jiwa memberontaknya tidak sesuai dengan kapasitasnya demi mengerahkan segala kekuatan. Atmosfir pun semakin kelam tatkala sinematografer Roger Deakins menangkap gambar di atas Kota Juarez yang gersang dan terus meredup hingga kegelapan tidak terelakkan. Siluet-siluet indah pun kemudian hadir yang di baliknya pastilah tiap bahaya mengintai.

Perang pada kartel yang dihadirkan Denis Villeneuve dengan menyisipkan instansi korup di dalamnya mungkinlah sudah kerap kali kita saksikan. Masih terasa mengerikan memang, di saat kita sendiri sudah bisa mengira-ngira siapa saja ‘aktor’ yang memuluskannya. Dibanding melihat gambaran secara gamblang seperti itu, Denis Villeneuve sebenarnya memaparkan keadaan dunia kita yang begitu kejam ini dan seperti itulah adanya. Yaitu sebuah dunia yang tidak membela pemegang keadilan layaknya Kate, sebab ia hanyalah bagian terkecil dari dunia yang begitu besar ini. Pejuang keadilan dengan idealisme tinggi seperti Kate ini mengingatkan saya pada Benicio del Toro dalam “Traffic” (2000), dengan tema yang sama ia hidupkan karakter ‘bersih’ namun hidup dalam ketidak berdayaan sebagai minoritas. Dan dalam film terbarunya ini, Denis Villeneuve kembali menciptakan teror yang mencekam dan mencengkeram pikiran, di saat kita hanya bisa menjadi penonton ketidakadilan dan keinginan untuk melawan telah terpenjara rapat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here