Di tengah anggapan bahwa genre superhero kekurangan sosok wanita tangguh sebagai fokus utama, wajar saja bila Peggy Carter (Hayley Atwell) menjadi favorit banyak penonton. Ada alasan kuat mengapa dia menjadi orang yang paling dihormati (sekaligus dicintai) oleh Steve Rogers/Captain America. Memiliki integritas, ketegasan, serta sanggup berubah menjadi sosok badass saat beraksi adalah beberapa diantaranya. Tapi yang paling penting, Peggy mampu mewakili sosok wanita sebagai minoritas dan dipandang sebelah mata dalam bidang yang ia geluti. Setelah one-shot yang rilis pada 2013, tidak mengherankan saat Agent Carter memiliki serial televisi sendiri. Diputar sebagai pengisi saat Agent of S.H.I.E.L.D menjalani libur tengah musim, serial delapan episode ini ber-setting pada 1946. Saat itu perang telah berakhir, dan Peggy bekerja sebagai sekretaris untuk S.S.R (Strategic Scientific Reserve). Meski punya reputasi tinggi saat perang, di tempat barunya itu Peggy hanya melakukan hal sepele, seperti menyiapkan berkas atau makan siang.
Konflik utamanya melibatkan Howard Stark (Dominic Cooper) yang dituduh menjual senjata berbahaya ke pihak musuh. Howard sendiri menyatakan secara langsung pada Peggy bahwa ia dijebak, dan segala senjata itu telah dicuri dari brankasnya. Untuk itu ia meminta bantuan Peggy membersihkan nama baiknya. Dibantu oleh Jarvis (James D’Arcy) yang merupakan pelayan Howard, secara diam-diam Peggy melakukan penyelidikan sendiri tentang siapa sesungguhnya pelaku pencurian tersebut. Cerita berjalan, interaksi antar karakter pun semakin banyak terjadi. Sampai akhirnya saya sampai pada keyakinan bahwa kualitas penulisan serial televisi Marvel jauh di bawah filmnya. Saya tidak menonton Agent of S.H.I.E.L.D, tapi dari berbagai respon yang hadir, ekspektasi akan kehadiran serial yang terhubung dengan cinematic universe lebih banyak gagal terpenuhi. Itulah yang terjadi pada Agent Carter meski saya cukup terhibur, tapi hiburan satu ini tidak hanya brainless tapi begitu pointless.
Kita tahu salah satu tema besar serial ini adalah perjuangan hak seorang wanita. Sebagai karya dari Marvel yang termasuk bagian MCU, tentu jangan berharap kompleksitas karakter. Hitam dan putih terpisah dengan begitu jelas. Hal serupa terasa dalam penggambaran interaksi Peggy dengan para pria yang meremehkan dirinya. Saat Peggy merupakan wanita yang sanggup melakukan banyak hal, menjalankan tugas macam apapun, rekan kerja di kantornya hanya sekelompok pria bodoh yang tidak tahu apa-apa. Belum lagi ditambah sikap menyebalkan yang mereka tunjukkan pada Peggy. Sejujurnya itu membuat serial ini mencapai tujuannya. Saya bersimpati pada Peggy dan mendukungnya untuk bisa membuktikan diri pada rekan kerjanya. Berhasil, tapi dengan cara yang murahan. Sekuat apapun usaha serial ini menampilkan Detektif Thompson (Chad Michael Murray) sebagai ahli interogasi (cukup menghibur) atau Chief Dooley (Shea Whingham) sebagai ketua yang keras, kesan bodoh tetap paling kuat terasa.
Karakter beserta interaksinya adalah kekuatan utama Agent of S.H.I.E.L.D. Berbagai sosok menarik telah dihadirkan berkat kualitas penulisan kuat, mulai dari Tony Stark sampai Guardians of the Galaxy. Penulisan serial ini dimulai dengan tujuan sama tapi dengan kualitas berbeda, berujung pada hasil akhir berbeda pula. Obrolan antara Peggy dan Jarvis selalu menarik bahkan sampai delapan episode. Berkebalikan dari Peggy, Jarvis adalah pria yang tampak tidak bisa diandalkan, bahkan takut pada istrinya. Kombinasi dua tokoh berlawanan memang merupakan formula klise tapi efektif dalam buddy cop. Seiring berjalannya waktu saya mulai menyukai Jarvis dengan loyalitas yang ia tunjukkan. Obrolannya dengan Peggy sering memunculkan momen lucu, membuat saya terus bertahan sampai serial usai meski kualitasnya medioker. Tapi disaat jokes dari Marvel biasanya benar-benar lucu, kelucuan Peggy-Jarvis tidak lebih dari guilty pleasure. Dialog yang terlontar bodoh dan lagi-lagi pointless, tapi mampu memberikan kesenangan. Tapi tunggu saja beberapa menit, saya akan melupakan apa yang baru mereka bicarakan.
Disaat rekan kerja Peggy adalah sekumpulan agen bodoh, tidak ada yang lebih mengecewakan dari penggambaran Howard Stark. Kemunculannya di Captain America: the First Avenger menghadirkan kesan sama seperti Peggy: penonton ingin ia kembali. Semula saya berharap Howard akan jadi Tony-nya Agent Carter. Tapi disaat Tony Stark adalah billionaire, playboy, philanthropist, with cool armor and responsibility, sang ayah tidak lebih dari milyuner playboy yang menyebalkan. Tony Stark adalah pria sekaligus teman yang brengsek, tapi disaat bersamaan penonton bisa bersimpati. Tapi Howard pada setiap kemunculannya hanya menimbulkan masalah baru bagi Peggy sambil bercinta dengan tiap wanita yang ia temui. Howard Stark mengecewakan, begitu pula dengan kebanyakan karakter lain, menjadikan Agent Carter gagal menyuguhkan kekuatan utama MCU: likable and interesting characters.
Plot? Bagaimana dengan plot? Tidak menarik, penuh lubang, dan terlalu berusaha menjadi kompleks dengan twist. Tanpa kualitas penulisan baik, bukan kompleksitas mengikat yang muncul, tapi kompleksitas berantakan yang membuat saya tidak lagi peduli. Apa yang sedang terjadi dalam suatu episode? Belum tentu saya tahu sepenuhnya. Saya hanya menanti aksi Peggy Carter dan interaksinya dengan Jarvis. Sentral cerita adalah pencarian dalang pencurian barang-barang Howard Stark yang di-tease bakal terikat dengan suatu hal yang lebih besar. “Hal yang lebih besar” membuat saya tetap berusaha mengikuti ceritanya, sampai pada dua episode terakhir hal besar itu tidak pernah benar-benar besar. Pengungkapan “Leviathan” beserta rencana mereka yang seharusnya berpuncak pada finale hadir begitu datar. Cukup menghibur, tapi jelas bukan sajian cocok sebagai episode terakhir, apalagi setelah semua konspirasi dan misteri yang dibangun sedari awal.
Dengan begitu banyak sisi negatif anda mengira saya akan memberi penilaian buruk pada serial ini bukan? Tapi tidak. Saya katakan lagi bahwa Agent Carter adalah guilty pleasure…..at it’s best. Banyak aspek serial ini mengecewakan, termasuk plot utamanya. Tapi jika bersinggungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan Peggy Carter, serial ini cukup berhasil. Dia adalah heroine tangguh yang sudah lama ditunggu kehadirannya dalam MCU selain Black Widow. Tiap Peggy beraksi, selalu ada hiburan menyenangkan muncul. Saya berhasil mendukung karakternya, interaksi yang melibatkan Peggy selalu menarik (meski bodoh), dan yang paling penting drama tentang sosok Steve sebagai hantu masa lalu bagi Peggy hadir cukup kuat. Disaat konklusi plot utama mengecewakan, konklusi drama Peggy-Steve terasa hangat. Ditambah akting bagus Hayley Atwell khususnya saat harus bersinggungan dengan Steve Rogers dimana ia mampu tampil emosional tanpa dramatisasi berlebih, karakter Peggy Carter terasa makin solid, makin mudah disukai. Mengecewakan di berbagai sisi, tapi disaat sebuah serial berjudul Agent Carter mampu menghadirkan sang titular character dengan baik, tidaklah layak menyebutnya sebagai kegagalan.